Senin, 07 Maret 2011

Membawa Herbal Indonesia Mendapat Pengakuan Internasional

(Majalah Human Capital /065/Agustus2009)
Berangkat dari perhatian kepada tanaman herbal di Indonesia, Heinrich Melcher yang bekerja puluhan tahun sebagai ahli geologi memutuskan fokus menjadi seorang peneliti herbal. Bagaimana pandangannya terhadap potensi herbal di Indonesia ?


Menjelajahi pedalaman di beberapa benua dan kepulauan adalah pekerjaan Heinrich Melcher sebagai ahli geologi. Pedalaman Amerika Latin, Afrika dan Indonesia adalah beberapa tempat yang pernah Heinrich kunjungi saat masih aktif sebagai ahli geologi. “Saya selalu berminat melihat cara suku-suku di pedalaman mengobati penyakit,” ungkap Heinrich mengakui. Tidak hanya memerhatikan, Heinrich juga selalu mencatat dan menyusunnya menjadi sebuah database.

Indonesia yang memiliki iklim tropis memberikan kesan tersendiri bagi pria asal Jerman yang telah menjadi warga negara Ineonsia ini. Datang ke Indonesia pada 1974, Heinrich kagum pada kesuburan tanah negeri ini, terutama Papua. “Di Papua tanahnya bagus sekali. Tanah kosong di sana masih puluhan ribu hektar yang bisa dimanfaatkan,” kata Heinrich seraya membandingkan bahwa jenis tanaman herbal di Indonesia jauh lebih lengkap dan berkualitas dibandingkan negara lain yang pernah dikunjunginya.
“Kalau kita lihat sejarahnya, sejak zaman nenek moyang kita sudah menggunakan herbal. Industri  jamu bukan industri baru, tapi komoditi dari zaman purbakala,” kata Heinrich yang pernah berdebatdengan para dokter di Surabaya mengenai kesterilan herbal.
“Kata dokter-dokter di Surabaya, mana bisa menjamin herbal steril. Para dokter muda itu saya tanya, asal bapak dari mana? Mereka jawab Trenggalek,” kata Heinrich sambil melanjutkan cerita, “saya tanya lagi, masih ada orang tua atau kakek-nenek? Dijawab masih ada. Lalu saya bilang, coba pulang ke kampung dan tanyakan ke kakek-nenek Anda, kalau sakit gigi pakai apa? Pasti dia ke belakang rumah dan mencari herbal.”
“Orang China dan Eropa harus berpikir bagaimana mengawetkan tanaman. Di sini orang tidak pernah mikir untuk mengawetkan makanan karena sepanjang tahun selalu ada,

Menurut Heinrich, seringkali orang Indonesia tidak sadar bahwa Indonesia memiliki sumber berlimpah. Bila membandingkan dengan China atau Eropa yang memiliki empat musim, Indonesia adalah tanah yang beruntung, begitu pandangan Heinrich. “Orang China dan Eropa harus berpikir bagaimana mengawetkan tanaman. Di sini orang tidak pernah mikir untuk mengawetkan makanan karena sepanjang tahun selalu ada,” ujarnya berkomentar. “Di Indonesia kita bikin apa pun bisa. Itu luar biasa,” ungkap penemu tetes mata herbal bermerek Radix yang terbuat dari buah keben asal Papua ini mengagumi Indonesia.

Heinrich mengakui, sumber daya manusia yang berminat pada penelitian herbal di Indonesia masih jarang. “Memang butuh kesabaran dalam meneliti dan tidak bisa langsung berorientasi pada hasil,” katanya mengakui. Namun, ia melihat, jika sebuah penelitian herbal sudah memberi hasil, potensi untuk membuka peluang kerja dan pemberdayaan ekonomi akan terbuka lebar. “Saat saya meneliti, saya coba ke diri saya sendiri sebelum saya beri ke orang lain. Akhirnya, saya menemukan obat tetes mata dan bikin pengobatan masal pada tahun 2003-2005,” kenang Heinrich yang kemudian bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Indonesia (UI). “Sekarang obat tetes mata ini sudah mencapai standar internasional,” ungkap Heinrich dengan bangga.

Bukan rahasia lagi, kendala yang ditemui para herbalis adalah sulitnya memperoleh izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Heinrich mengatakan, banyak hal yang dilarang mengenai herbal di Indonesia tapi justru diperbolehkan di luar negeri. Contohnya, dokter di Indonesia dilarang meresepkan obat herbal, sedangkan di Australia industri asuransi di sana sudah mulai mendukung pengobatan dengan herbal. Dokter juga boleh meresepkan obat herbal.

“Karena terhambat perizinan dan sebagainya, walaupun sudah terbukti keampuhannya bila tidak ada izin dianggap obat illegal. Undang-Undang (UU) di Indonesia menyatakan obat infus atau injeksi tidak boleh dari herbal,” tuur Heinrich menyesalkan. “Kami berharap kalau ada sesuatu yang bagus dilihat dulu, jangan langsung dijegal sehingga bisnis herbal bisa lebih terbuka,” saran pria berusia kepala enam ini.

Setelah fokus meneliti herbal selama kurang lebih lima tahun, Heinrich berani mengatakan, seharusnyaya indutri herbal Indonesia menjadi yang terbesar di dunia. “Bisa dibayangkan perkembangan petani kalau industri herbal dikembangkan. Kita membeli bahan bakudari petani, tenaga yang dibutuhkan untuk industri ini luar biasa banyak dan kita bisa melakukan semua itu,” katanya optimistis.

Kabar baiknya, Heinrich merasakan sudah ada perhatian dari masyrakat kepada industri herbal dan perhatian ini harus terus ditingkatkan. Menurutnya, Indonesia memerlukan peran pemerintah dalam menyosialisasikan obat-obatan herbal. “Kalau kita mau menghasilkan sesuatu, kita harus bersifat UMS, yang artinya United Makes Strong atau kebersamaan membuat kuat,” ujar Heinrich.

Heinrich menilai, investasi bisa datang bila pemerintah mau merombak perizinan tentang herbal. “Saya tahu banyak teman-teman pebisnis yang mau terjun ke bidang ini asal ada izin resmi. Para praktisi herbal juga sudah berjuang ke arah legalitas herbal sebagai obat. Kami berharap obat-obatan herbal bisa lebal, “ ungkapnya. Sejauh ini, ia melihat obat herbal di Indonesia masih didiskriminasikan walaupun sudah terbukti khasiatnya.

“Sama halnya kita bilang batik Indonesia tidak bagus, sedangkan batik Malaysia bagus. Padahal Indonesia adalah sumbernya batik,” Heinrich mencontohkan seraya melanjutkan,”herbal itu warisan dari nenek moyang. Kalau kita dapat warisan dari orangtua masa tidak kita pelihara?”

Hal itulah yang menyebabkan kenapa herbal di Indonesia tidak berkembang. “Karena belum banyak orang Indonesia yang mau mengembangkannya. Pelatihan juga masih kurang,” tutur Heinrich tegas. “Di Indonesia kita mempunyai tumbuhan berkhasiat yang sudah terdaftar dan sudah diinformasikan oleh IPB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lebih dari 2000 jenis. Tapi sampai sekarang yang baru diteliti sekitar 400-an tumbuhan,” ungkapnya.

Melalui penelitian dan pembudidayaan tanaman herbal berkhasiat, Heinrich berharap industri herbal di Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata oleh tuan rumahnya sendiri. Bukan hanya Heinrich, para ahli herbal pun meyakini bahwa herbal Indonesia memiliki petensi besar di depan mata, yang tidak dimiliki negara lain di belahan dunia mana pun. Bila mutiara terpendam ini bisa bersinar, maka pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia sebagai negara penghasil herbal terlengkap dan berkualitas di dunia, juga ikut berkembang. Semoga harapan ini dapat terwujud suatu hari nanti.
(Rina Suci Handayani)