Jumat, 06 Maret 2009

RIWAYAT 1: Perjuangan Melawan Glaukoma

Awal Mulanya

Sebenarnya, aku mulai merasakan ketidakberesan dengan kedua mataku sejak aku kuliah di Jogja tahun 90-an yang lalu. Tanpa kusadari awal mulanya, tiba-tiba mataku terasa gatal-gatal, panas, dan selalu mengeluarkan air mata. Selain itu, bulu mataku juga sering rontok. Tentu saja ini nggak ada kaitannya sama mitos orang Jawa yang bilang kalau bulu mata rontok itu menandakan bahwa kita sedang dikangeni banyak orang.

Mengalami hal itu, aku kemudian memeriksakan mataku ke seorang dokter mata di kota kelahiranku Klaten. Dari hasil pemeriksaan dokter, mataku dinyatakan minus dan terkena virus. Virus itulah yang kata dokter membuat mataku terasa gatal. Tapi kalo ditanya virus apa yang menyerang mataku itu aku sudah lupa. Yang jelas ketika di tempat periksa dokter itu mataku disemprot pakai sprai mata. Saat itu pula mataku terasa adem (dingin) dan nggak gatal lagi.
Berdasarkan resep yang kudapat dari dokter itu, aku beli obat, kalo nggak salah berbentuk salep dan beberapa obat oral. Selain itu, aku juga memakai kaca mata sesuai resep dokter. Mata kiriku minus ¾ dan mata kananku minus 1,5.

Selang beberapa waktu, aku merasa, sakit mataku ini ada kaitannya dengan alergi dingin dan debu yang kuderita. Setiap kali cuaca dingin atau aku kena debu, biasanya aku bersin-bersin tanpa henti. Nah, bersamaan dengan bersin-bersin itu mataku mulai terasa gatal-gatal nggak karuan.

Sakit Mata setelah Melahirkan, Hati-hati!

Kondisi seperti itu berlangsung lama dan aku seperti sudah terbiasa dengan alergi dan penyakit mata yang kuderita itu. Sampai akhirnya aku menikah dan melahirkan anak pertama. Setelah kelahiran anak pertama itulah, aku merasakan sakit mata yang sangat parah. Mataku terasa cekot-cekot, seperti dipukuli sepuluh petinju. Kepala terasa pusing, pandangan kabur. Tapi aku nggak mengira kalau itu penyakit mata yang serius.

Orang-orang di kampung (Mbah Warso, Budhe Karto, Budhe Ndiyo, Budhe Wiryo, Lik Jamir) bilang, sakit mata seperti itu sesuatu yang biasa bagi orang yang habis melahirkan. Makanya aku nggak disarankan periksa mata tapi disuruh beli pilis di pasar tradisional. Memang di Pasar Klepu, (sebuah pasar yang menjadi andalan orang-orang di sekitar Ceper, Klaten) ada penjual pilis itu. Namanya Bu Darmi. Bisnis utamanya sebenarnya bukan membuat pilis, tapi berjualan jamu tradisional. Bu Darmi lebih terkenal sebagai bakul (penjual) jamu di pasar itu. Sesekali silakan berwisata ke Klaten dan cari Pasar Klepu, Ceper.

Pilis itu apa sih? Pilis adalah ramuan berbagai macam daun-daunan dan jamu tradisional yang dilumatkan kemudian dibentuk sebesar koin uang seribuan, agak tebal, berwarna hijau tua, dan ditempelkan di dahi. Rupanya resep tradisional ini manjur juga. Ketika dahiku ditempeli pilis itu, nggak tahu kenapa seolah-olah khasiat pilis itu merasuk ke mataku. Mataku terasa segar, aku bisa melihat dengan perasaan plong, dan mataku nggak terasa cekot-cekot lagi.

Ternyata capek juga nulis. Ini baru mau mulai. Aku pengin cerita selengkap mungkin, biar orang lain tidak mengalami sakit mata seperti aku. Atau biar orang lain bisa mengantisipasi sedini mungkin kalau mengalami peristiwa yang mirip dengan kejadian yang aku alami. Tunggu cerita saya selanjutnya ya!

Kisah pertemuan saya dengan radix vitae
RIWAYAT 2: Glaukoma? Konsumsi Obat Kimia Seumur Hidup!
2. RIWAYAT 3: KETEMU RADIX VITAE DARI SOBEKAN KORAN